Sabtu, 20 Maret 2010

Dari Se-Abad All England...




Final turnamen Bulu Tangkis Dunia paling bergengsi, apalagi kalau bukan All England, beberapa waktu lalu sungguh-sungguh menegangkan. Menegangkan karena Indonesia hanya menyisakan satu wakilnya, tepatnya sepasang ganda campuran, Nova Widiyanto yang berpasangan dengan Lilyana Natsir. Menegangkan karena sudah lima tahun sebelumnya Indonesia, yang katanya negerinya Bulu Tangkis itu, selalu pulang dengan tangan hampa, juga bermuram durja. Menegangkan karena ini adalah tepat seabad gelaran turnamen bulu tangkis dunia itu, yang tentu membawa sebuah prestise berbeda…

Semua pemain bulu tangkis pelatnas tentunya sangat mengidamkan bisa menjadi kampiun dalam turnamen All England ini, namun ada yang semangat dan hasratnya benar-benar lebih meletup-letup dibanding yang lain. Dialah si Juara Dunia dan Juara Olimpiade Athena 2004, Taufik Hidayat. Pasangan ganda putera Markis Kido–Hendra Setiawan, yang juga Juara Dunia dan Peraih medali Emas Olimpiade Beijing 2008, serta ganda campuran Nova Widianto–Lilyana Natsir, yang juga sudah langganan Juara Dunia, namun harus menerima kenyataan kalah mudah di Olimpiade Beijing, dan belum pernah merasakan manisnya juara All England. Bagi mereka bak sayur tanpa garam rasanya kalau belum pernah juara All England…

Sayang, dari tiga nomor itu, Taufik Hidayat terpaksa harus mengubur asanya menjadi kampiun seabad All England setelah kekalahan menyakitkan dari Peter Gade di perempat final. Peter Gade adalah musuh bebuyutannya yang sekaligus sosok yang telah menggagalkan kesempatan pertama Taufik pada final All England tahun 1999 silam, dan setahun kemudian di Final keduanya, Taufik juga tak berdaya menghadapi gempuran pemain yang saat itu terbilang baru muncul, Xia Xuanze, dari China.

Kemudian, Markis Kido–Hendra Setiawan yang juga berambisi meraih gelar All England, sayangnya juga runtuh saat menghadapi ganda Denmark di semi final. Hingga harapan Indonesia akhirnya hanya bertumpu pada Nova Widiyanto-Lilyana Natsir.

Final Menegangkan,

Akhirnya malam final (waktu Indonesia) itu tiba, dan partai ganda campuran menjadi pembuka. Harapan awalnya begitu besar Nova-Lilyana akan bisa menjadi kampiun, apalagi lawannya adalah ganda campuran yang bisa dibilang baru, dan bukan ganda campuran utama China, Zhang Nan-Zhao Yunlei. Tapi seperti biasa, khusus untuk pemain-pemain China sepertinya rumus ranking menentukan kualitas permainan tidak berlaku. Terbukti, Zhang yang di ganda belum begitu moncer, bisa kompak dengan Zhao yang di ganda putri bersama Cheng Shu selalu menjadi pengatur irama. Hasilnya Nova-Lilyana kerepotan, dan di set pertama menyerah dengan skor ketat 21-18.

Pada set ke-dua, kejar mengejar angka kembali terjadi, bahkan masyarakat Indonesia nyaris tak bisa bernafas saat terjadi match point untuk ganda campuran China. Melalui permainan reli-reli memukau dan smash–smash keras, akhirnya Nova-Lilyana bisa memaksakan rubber set, setelah menang dalam drama nan panjang dan melelahkan, 23-25.

Seperti mendapatkan ilham, di set ke tiga Nova-Lilyana terlihat semakin membaik. Bahkan pada skor berada di kisaran belasan, keduanya sempat unggul hingga empat angka. Sayang, entah karena apa, mereka kendur dan pasangan China-pun kembali beringas. Walau telah bersimbah peluh, mencurahkan segenap kemampuan hingga titik darah penghabisan, Nova-Lilyana harus menerima kenyataan, mereka kembali kalah di partai puncak. Keduanya tentu merana, tapi Nova lebih merasakannya mengingat usia yang sudah di atas 30 tahun, yang artinya masa pensiun telah di depan mata.

Bulu Tangkis yang Memukau…

Setelah kekecewaan tak terkira karena gagal total pemain Indonesia yang tak berkesudahan, rasanya malas untuk menyaksikan partai selanjutnya. Namun siap-siap rugi rugi rugi kalau terus bermuram durja. Saatnya melihat kualitas permainan para bintang dari negara lain.

Partai kedua mempertemukan unggulan pertama tunggal putri, Wang Yihan, melawan pemain Denmark, Tine Rasmussen. Menariknya ini adalah ulangan partai final tahun lalu, dimana di luar dugaan tahun lalu Wang Yihan berhasil membungkan Tine Rasmussen, yang saat itu sangat diunggulkan karena merupakan juara bertahan. Arena All England sendiri terasa begitu bersahabat bagi Tine, karena tahun ini merupakan hattrick-nya di partai puncak. Pada tahun 2008 ia berhasil menjadi juara setelah mengalahkan pemain muda China paling potensial saat itu, Lu Lan.

Dan tak ingin bernasib seperti tahun lalu, sejak game pertama dimulai Tine pun langsung menggebrak dengan smash-smash tajamnya. Hasilnya ia unggul lumayan telak di set pertama dengan skor, 21-14. Bagiku, Wang Yihan yang berparas lembut mengingatkan pada ratu Indonesia Susy Susanti, yang selalu atau sering “mengalah” di set awal. Sehingga tak heran, pada set kedua pun Wang terlihat sudah bisa menguasai medan dan dengan Lob yang panjang, netting yang manis, dan di akhiri dengan drop shot dan smash, set kedua-pun menjadi miliknya, 18 – 21 untuk Wang. Permainan semakin menarik karena harus berlanjut dengan dengan rubber set. Set ketiga adalah set yang keras, kejar mengejar angka terjadi. Kedua pemain berusaha menampilkan kombinasi teknik permainan, kecepatan gerak juga kekuatan pukulan. Namun tahun ini giliran nasib baik menghampiri Tine Rasmussen. Setelah smash menyilangnya tak mampu dikembalikan Wang, Tine-pun meluapkan kegembiraannya dengan melemparkan raketnya ke udara. Ia meraih trofi All England-nya yang ke dua tahun ini.

Saatnya Chong Wei…!!

Kalau ada pemain tunggal putera yang paling ku kagumi saat ini, dialah Lee Chong Wei. Penampilannya terlihat santun, permainanya yang mengombinasikan teknik, speed, smash kuat dan kesabarannya sangat memukau. Pemain Malaysia inilah yang sering mengalahkan Lin Dan, namun sayang, Lin Dan pula yang sering menggagalkan ambisinya menjadi juara, seperti di All England beberapa tahun sebelumnya, hingga di Final Olimpiade Beijing 2008, dimana dialah sebenarnya sang unggulan pertama. Tapi tahun ini dewi fortuna memang sedang berpihak pada Chong Wei, tentunya setelah Lin Dan kalah dari kompatriotnya, Bao Chun Lai, di perempat final.

Jika mengacu pada peringkat lawannya Kenichi Tago, seharunya pertandingan final akan berjalan mudah bagi Lee. Akan tetapi Tago seolah ingin memupus anggapan bahwa keberadaannya di partai final hanyalah sebuah kebetulan semata. Kenici Tago yang jika ku umpamakan di tunggal putri sebagai Yip Pui Yin dari Hongkong, adalah tipikal pemain yang penuh semangat perjuangan, ngotot, terus menyerang sehingga kadang menjadi terlihat ceroboh, boros. Kenichi ternyata membuat Lee lumayan kesulitan. Perolehan angka-pun berjalan ketat, dan set pertama akhirnya berhasil di-raih oleh Lee dengan skor 21-19.

Set kedua juga berjalan sangat menarik, adu smash, drop shot hingga netting membuat permainan semakin memesona. Berkali kali kenici terjatuh. Namun yang membuat ia begitu mengesankan adalah ia selalu bangkit kembali, tentunya dengan senyumannya yang khas, beda dengan kebanyakan pemain Jepang lainnya yang tampil serius. Termasuk ketika pada saat angka kritis 20 – 19 untuk keunggulan Lee, dimana dorongan shuttle cock Lee ke belakangnya ia biarkan karena mengira keluar, (dan jika melihat tayangan ulang plus slow motion-nya, sepertinya memang keluar), tapi sayang hakim garis menyatakan bola masuk. Dengan ekspresi tidak percaya dan kecewa, kenichi tetap legowo menerima keputusan wasit, yang sedihnya berimplikasi pada kenyataan bahwa permainan harus berakhir dan Lee Chong Wei, si pemain nomor satu dunia itu, akhirnya bisa memboyong Piala All england edisi seabad.

Ganda Putri & Ganda Putra

Dua partai selanjutnya adalah ganda putri dan ganda putra. Dari segi permainan mereka sebenarnya sangat menarik, tapi karena kedua-duanya adalah partai All China Final dan All Denmark Final, jadi ya kurang gregetnya. Meski sempat unggul di set pertama, Zhao Yunlei (belum lupa kan siapa dia ??) yang berpasangan dengan Cheng Shu akhirnya harus mengakui kehebatan unggulan pertama Du Jing – Yu Yang, 20-22, 21-16, dan 21-13. Mungkin Zhao udah kelelahan kali ya….

Sementara di ganda putra, walau bertarung sesama pemaian Denmark, namun permainan tetap berlangsung keras dan ketat. Lars Paske dan Jonas Rasmussen yang di semi final mengubur impian Markis-Hendra, akhirnya menjadi juara setelah menumbangkan Mathias Boe-Carsten Mogensen dengan skor 12-23, 21-19, dan 26-24.

Kapan ya…Indonesia kembali berjaya di ALL ENGLAND…???!!...

(END)

Rabu, 03 Maret 2010

Belajar dari Zhang Ning


Dalam sebuah status di Face Book, saya pernah menulis “Better Late than Never”. Tapi sungguh komentar yang kudapat diluar dugaan, alih-alih mendapatkan support “Ayo Semangat !!” atau mungkin “Ku dukung…!!”, atau setidak-tidaknya “Lanjutkan…!!” hikss... yang kudapat malah : “Indonesia banget sih….”. Apa gerangan yang salah dengan Indonesiaku…

Upsss..padahal pernyataan itu sengaja kutulis untuk menggambarkan betapa antusiasnya suasana hati meski terasa sudah terlambat rasanya. Untuk memulai berusaha menggunakan kertas kantor sehemat mungkin, menggunakan air sebijaksana mungkin, tidak membuang sampah sembarangan, memaksimalkan penggunaan 24 jam waktu sehariku (yang sebelumnya banyak wasting times-nya), mulai menabung agar tidak kembali terjerembab pada kemiskinan, dan yang utama tidak malu untuk kembali memulai belajar kembali meski terasa udah ketuaan ( yah…terpaksa ngaku….).

Untuk statement yang terakhir, ada sebuah pepatah “makin tua makin jadi” sepertinya ada benarnya juga. Itu terjadi pada Zhang Ning. Siapa sih si Zhang Ning itu….?? (yakinlah kalo ada yang membaca tulisan ini, sepertinya mayoritas akan langsung komentar “sapa tuhh ??” atau jangan-jangan malah ada yang = “penting gak seehh…??!!”

Well.. ingat tidak suasana heroik di Istora Senayan tahun 1994 silam ? saat tim bulu tangkis putri Indonesia berhasil merebut Piala Uber?. Saat dengan susah payah, penuh perjuangan, serta tetes air mata Mia Audina akhirnya berhasil menjadi penentu kemenangan Indonesia atas China dengan skor akhir 3 : 2 ??. Yah.. saat itu si bayi ajaib Mia Audina berhasil mengalahkan tunggal ke tiga China, dialah mbak Zhang Ning.

Setelah piala Uber 1994 itu, prestasi Zhang Ning sepertinya biasa-biasa saja. Bahkan pamornya kalah dengan tunggal putri muda China lainnya, seperti Wang Chen, yang kemudian menjadi rival utama Mia. Medio 1997 bahkan nama Zhang Ning seperti ditelan bumi, lenyap. Kala itu selain tunggal utama Ye Zhao Ying, ada selusin tunggal putri muda China lainnya seperti The Baby Faced Killer Gong Zhichao, si cantik Gong Ruina, Zheng Ya Qiong, Dai Yun, Zhou Mi, dan tentu saja masih ada Wang Chen. Nah Zhang Ning walau muncul lebih awal, tapi nyaris jarang atau bahkan belum pernah naik podium.

Medio akhir 1990-an ketika Susy Susanti telah pensiun, bahkan saat Mia akhirnya pindah ke Belanda, serbuan putri-putri China seperti tak terbendung. Juaranya ganti-gantian dari nama-nama tersebut di atas, persis arisan juara atau malah janjian ganti-gantian, hingga kadang menjenuhkan. Bahkan setelah grafik permainan Mia menurun, hanya Camilla Martin dari Denmark-lah yang sekali-kali bisa membuat kejutan. Dan belum berakhir era mereka, sudah muncul lagi si jangkung Xie Xing Fang, yang kemudian menjadi si anak bungsu cerdik. Medali emas Olimpiade Sidney 2000 direbut Gong Zhichao, dan prestasi Zhang Ning masih belum tampak.

Sayang, usai Olimpiade Gong mundur dan tunggal utama pun bergeser gantian dari Dai Yun, Gong Ruina hingga Zhou Mi. Dari wawancara dengan seorang mantan pemain tunggal putri China, saya mendapat informasi bahwa Zhang sudah nyaris mundur, bahkan pernah nyaris didepak dari tim nasional. Tapi pelatih kepala tim China, yang katanya masih satu daerah asal, melarang dan tetap memberi kesempatan. Selain potensi, ia juga tidak mengalami cidera, itu salah dua alasannya. But,…kok sabar banget ya, setelah berkali di-overlap masih tetap mau bertahan…

Dan walau prestasi Xie Xing Fang sangat hebat sekitar tahun 2003-2004, nyatanya justru Gong Ruina, Zhou Mi dan Zhang Ning-lah yang di bawa ke Olimpiade Athena. Xie masih relatif muda saat itu, mungkin salah satu pertimbangannya. Mengejutkan..!!! Mia yang kembali turun gunung dengan semangat ’45 walau tidak membela Indonesia, berhasil menyingkirkan pemain-pemain China hingga ia mencapai partai puncak untuk berusaha meraih medali emas. Setelah pada delapan tahun sebelumnya di Olimpiade Atlanta hanya meraih perak, setelah kalah dari Bang Soo Hyun. Sayang Mia kembali gagal di partai puncak, bahkan ia sempat depresi karena merasa harus terus menerus membentur tembok China, babak demi babak.

Siapa coba yang mengalahkan Mia ?? dialah Zhang Ning. Zhang melakukan revans atas kekalahan menyakitkan pada final Piala Uber 1994, satu dekade silam.

Bisa jadi itulah prestasi terbaik Zhang, dan puncak karirnya. Tapi ternyata dugaan itu keliru. Di usia sekitar 28 tahun itu dia justru semakin trengginas. Saat pemian-pemian yang dulu lebih dipandang darinya seperti Wang Chen terdepak dari timnas hingga pindah ke Hong Kong, hal yang sama terjadi pada Zhou Mi. Juga mundurnya Gong Ruina dan Dai Yun, ternyata Zhang masih bertahan. Tidak jadi yang utama memang, karena pasca gagal ke olimpiade Xie Xing Fang seolah membuktikan bahwa dialah sang Ratu sesungguhnya. Sejumlah Piala All England berhasil ia rengkuh, sejumlah turnamen super series, juga mahkota juara dunia menjadi bukti kehebatannya.

Dan menjelang perhelatan olimpiade paling meriah dan megah, Olimpiade Beijing, peringkat nasional Zhang ternyata hanya di urutan ke empat. Di bawah pemain nomor satu dunia, Xie, pemain nomor Tiga dunia Lu Lan, dan pemain nomor Empat dunia Zhu Lin. Aturan menyebutkan bahwa setiap negara maksimal hanya bisa menyertakan dua pemain ke olimpiade, namun bisa tiga pemain asalkan ketiganya berada di peringkat sepuluh besar dunia (kalo tidak salah ya….). Jika mengacu pada ranking harusnya Xie, Lu, dan Zhu Lin lah yang berangkat. Sayang “kebijakan” pimpinan tim China ternyata lebih memilih Zhang Ning yang senior dibanding Zhu Lin, meski dia adalah juara dunia saat itu, dan dua bulan sebelumnya baru menjuarai Indonesia terbuka. Gak kebayang betapa sakitnya Zhu Lin ya…….

Tapi, lagi-lagi, entah karena faktor dewi fortuna, nasib, atau memang kematangan permainan. Zhang Ning kembali mencapai partai puncak setelah mengandaskan kejutan manis Maria Kristin. Dan dengan permainan yang seolah tanpa beban, Zhang yang saat itu telah berusia di atas 30 tahun, berhasil membuat sang peringkat SATU dunia menangisi kekalahannya ( bisa djuga dibaca : kesialannya) dalam drama rubber set. Zhang yang menggusur hak Zhu Lin ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah dipercayakan dipundaknya. Ia menang 21-12, 10-21, 21-18. Zhang Ning bahagia sebaliknya Xie Xing Fang merana….

Setelah meraih emas olimpiade-nya yang ke dua, Zhang gantung raket, dan didaulat menjadi pelatih tunggal putri China. Namun seperti pepatah no one is perfect. Layaknya Susy Susanti yang gagal paripurna akibat kegagalnnya meraih emas Asian Games, Zhang Ning pun tak kan pernah tercantum sebagai jawara “Grand Slam” Bulu tangkis dunia : All England.

Tapi kerja keras, keuletan, kesabaran, dan usahanya untuk bangkit setelah terpuruk-lah yang berusaha kuteladani. (end.)