Dalam sebuah status di Face Book, saya pernah menulis “Better Late than Never”. Tapi sungguh komentar yang kudapat diluar dugaan, alih-alih mendapatkan support “Ayo Semangat !!” atau mungkin “Ku dukung…!!”, atau setidak-tidaknya “Lanjutkan…!!” hikss... yang kudapat malah : “Indonesia banget sih….”. Apa gerangan yang salah dengan Indonesiaku…
Upsss..padahal pernyataan itu sengaja kutulis untuk menggambarkan betapa antusiasnya suasana hati meski terasa sudah terlambat rasanya. Untuk memulai berusaha menggunakan kertas kantor sehemat mungkin, menggunakan air sebijaksana mungkin, tidak membuang sampah sembarangan, memaksimalkan penggunaan 24 jam waktu sehariku (yang sebelumnya banyak wasting times-nya), mulai menabung agar tidak kembali terjerembab pada kemiskinan, dan yang utama tidak malu untuk kembali memulai belajar kembali meski terasa udah ketuaan ( yah…terpaksa ngaku….).
Untuk statement yang terakhir, ada sebuah pepatah “makin tua makin jadi” sepertinya ada benarnya juga. Itu terjadi pada Zhang Ning. Siapa sih si Zhang Ning itu….?? (yakinlah kalo ada yang membaca tulisan ini, sepertinya mayoritas akan langsung komentar “sapa tuhh ??” atau jangan-jangan malah ada yang = “penting gak seehh…??!!”
Well.. ingat tidak suasana heroik di Istora Senayan tahun 1994 silam ? saat tim bulu tangkis putri
Setelah piala Uber 1994 itu, prestasi Zhang Ning sepertinya biasa-biasa saja. Bahkan pamornya kalah dengan tunggal putri muda
Medio akhir 1990-an ketika Susy Susanti telah pensiun, bahkan saat Mia akhirnya pindah ke Belanda, serbuan putri-putri
Sayang, usai Olimpiade Gong mundur dan tunggal utama pun bergeser gantian dari Dai Yun, Gong Ruina hingga Zhou Mi. Dari wawancara dengan seorang mantan pemain tunggal putri
Dan walau prestasi Xie Xing Fang sangat hebat sekitar tahun 2003-2004, nyatanya justru Gong Ruina, Zhou Mi dan Zhang Ning-lah yang di bawa ke Olimpiade Athena. Xie masih relatif muda saat itu, mungkin salah satu pertimbangannya. Mengejutkan..!!! Mia yang kembali turun gunung dengan semangat ’45 walau tidak membela Indonesia, berhasil menyingkirkan pemain-pemain China hingga ia mencapai partai puncak untuk berusaha meraih medali emas. Setelah pada delapan tahun sebelumnya di Olimpiade Atlanta hanya meraih perak, setelah kalah dari Bang Soo Hyun. Sayang Mia kembali gagal di partai puncak, bahkan ia sempat depresi karena merasa harus terus menerus membentur tembok
Siapa coba yang mengalahkan Mia ?? dialah Zhang Ning. Zhang melakukan revans atas kekalahan menyakitkan pada final Piala Uber 1994, satu dekade silam.
Bisa jadi itulah prestasi terbaik Zhang, dan puncak karirnya. Tapi ternyata dugaan itu keliru. Di usia sekitar 28 tahun itu dia justru semakin trengginas. Saat pemian-pemian yang dulu lebih dipandang darinya seperti Wang Chen terdepak dari timnas hingga pindah ke Hong Kong, hal yang sama terjadi pada Zhou Mi. Juga mundurnya Gong Ruina dan Dai Yun, ternyata Zhang masih bertahan. Tidak jadi yang utama memang, karena pasca gagal ke olimpiade Xie Xing Fang seolah membuktikan bahwa dialah sang Ratu sesungguhnya. Sejumlah Piala All England berhasil ia rengkuh, sejumlah turnamen super series, juga mahkota juara dunia menjadi bukti kehebatannya.
Dan menjelang perhelatan olimpiade paling meriah dan megah, Olimpiade Beijing, peringkat nasional Zhang ternyata hanya di urutan ke empat. Di bawah pemain nomor satu dunia, Xie, pemain nomor Tiga dunia Lu Lan, dan pemain nomor Empat dunia Zhu Lin. Aturan menyebutkan bahwa setiap negara maksimal hanya bisa menyertakan dua pemain ke olimpiade, namun bisa tiga pemain asalkan ketiganya berada di peringkat sepuluh besar dunia (kalo tidak salah ya….). Jika mengacu pada ranking harusnya Xie, Lu, dan Zhu Lin lah yang berangkat. Sayang “kebijakan” pimpinan tim
Tapi, lagi-lagi, entah karena faktor dewi fortuna, nasib, atau memang kematangan permainan. Zhang Ning kembali mencapai partai puncak setelah mengandaskan kejutan manis Maria Kristin. Dan dengan permainan yang seolah tanpa beban, Zhang yang saat itu telah berusia di atas 30 tahun, berhasil membuat sang peringkat SATU dunia menangisi kekalahannya ( bisa djuga dibaca : kesialannya) dalam drama rubber set. Zhang yang menggusur hak Zhu Lin ternyata tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah dipercayakan dipundaknya. Ia menang 21-12, 10-21, 21-18. Zhang Ning bahagia sebaliknya Xie Xing Fang merana….
Setelah meraih emas olimpiade-nya yang ke dua, Zhang gantung raket, dan didaulat menjadi pelatih tunggal putri
Tapi kerja keras, keuletan, kesabaran, dan usahanya untuk bangkit setelah terpuruk-lah yang berusaha kuteladani. (end.)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar